Itu bukan satu atau dua pemikiran, itu gelombang yang menyerbu satu per satu: merasa sendiri, merasa gagal, merasa kurang beruntung. Di lingkaran kepalaku, kalimat-kalimat kecil itu berkali-kali mengulang seperti piring retak yang diputar-putar. Dunia seakan tak berpihak; teman yang dulu bercanda sekarang menunduk; kesempatan yang kulihat dari jauh lenyap begitu saja. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku terpuruk.
Tapi di titik paling rendah, sesuatu yang aneh terjadi: aku mulai mengamati. Bukan karena aku ingin bangkit, lebih karena aku bosan dengan kesedihan itu sendiri. Aku mulai menuliskan hal-hal kecil yang kurasakan. Beberapa aku sembunyikan, beberapa aku tulis dengan diam-diam di ponsel:
Aku merasa selalu merepotkan orang lain.
Aku merasa tidak dihargai karena miskin.
Aku merasa orang lain lebih beruntung, lebih pantas, lebih... semuanya.
Tulisan-tulisan itu seperti jejak kaki di pasir. Ketika ombak datang, jejak bisa hilang, tapi aku melihat bahwa jejak itu menunjukkan satu hal: aku masih bergerak. Aku masih bernafas.
Di pagi yang lain, aku memutuskan melakukan satu hal kecil: berjalan ke warung dekat rumah, bukan karena butuh, tapi untuk melihat siapa yang ada di sana. Aku berbicara pada penjual bakso tentang hujan semalam. Ibu penjual itu menatapku dan tersenyum seperti memberi izin: “Anak muda, jangan kau pikir hidupmu hanya soal berat di dada. Hidup memang berat, tapi lumayan kalau dicicil.” Satu kalimat sederhana. Bukan solusi instan. Tapi cukup untuk membuat sesuatu di dalam tertarik: mungkin ada cara lain untuk menata ulang harapan.
Lambat, bukan kilat.
Aku mulai menukar kalimat “aku gagal” dengan pertanyaan: “Gagal dalam apa? Dan apa satu langkah kecil yang bisa kulakukan besok?”
Dari yang semula parah, aku belajar memecah masalah: ekonomi terasa susah? Baik, aku coba jualan kecil-kecilan, belajar skill gratis lewat video, atau menawarkan jasa yang bisa kulakukan dari rumah. Dunia tidak berpihak? Mungkin, tapi aku tidak wajib menunggu pihak lain untuk berbaik hati. Aku bisa mencari celah.
Tentu tidak mudah. Banyak hari aku tergelincir lagi. Ada komentar pedas, ada hitungan di rekening yang tak tertutup, ada rasa malu ketika diundang reuni tapi tak mampu membeli kado. Namun, setiap kali aku kembali pada daftar kecil itu, menuliskan satu simpul kebaikan yang kutemukan hari itu, gunung itu terasa sedikit merenggang. Satu simpul: obrolan singkat yang membuatku belajar sesuatu. Dua simpul: satu pelanggan kecil. Tiga simpul: ada orang yang menghargai usahaku, meski itu hanya “terima kasih”.
Yang paling penting: aku mulai memisahkan “aku” dari “kegagalan”.
Aku bukan kegagalan yang berkumpul di badanku. Aku cuma manusia yang sedang mempelajari soal hidup. Hidup bukan lomba siapa paling berhasil, melainkan tentang siapa yang terus berdiri ketika terpeleset. Dan berdiri bisa berarti bangun 5 menit lebih awal, membaca satu artikel, mengirimkan satu pesan penawaran, atau membuat satu piring mie untuk diri sendiri tanpa menangis.
Ada momen kecil yang mengubah cara pandangku: ketika seorang tetangga, yang kubilang lebih beruntung dariku, meminjam beberapa buku dariku. Ia bilang, “Buku-bukumu membantu aku juga.” Aku terkejut. Ternyata hal yang kupikir tak ada nilainya, justru berguna bagi orang lain. Nilai itu tidak selalu dalam bentuk uang. Kadang ia dalam bentuk waktu, perhatian, atau kemampuan sederhana yang kita anggap remeh.
Hari demi hari, dunia yang semula terasa sempit berubah jadi beberapa jendela kecil. Jendela yang kubuka perlahan, satu untuk kemampuan baru, satu untuk relasi, satu untuk kebiasaan kecil. Ada hari yang mendung, ada yang cerah, tapi kini aku tahu: bahkan jendela kecil kalau dibuka tiap hari akan membuat rumah terasa lebih luas.
Jika kamu sedang membaca ini dan merasakan hal yang sama, merasa paling gagal, paling tidak beruntung, paling menyedihkan, izinkan aku berbagi dua hal sederhana yang menolongku:
- Tuliskan satu hal kecil setiap hari. Bukan untuk menunjukkan pada orang, tapi untuk melihat jejak. Jejak itu akan memberitahumu kalau kamu sebenarnya bergerak.
- Lakukan satu tindakan kecil setiap minggu. Kirim satu pesan, pelajari satu hal baru selama 30 menit, atau bantu seseorang tanpa berharap balasan. Tindakan kecil membuka peluang.
Akhir cerita? Tidak ada akhir tetap. Ada proses. Ada bab baru yang tak pernah kusangka. Sekarang, ketika gelombang kesepian datang, aku tidak lagi panik. Aku duduk, menulis, dan memilih satu hal kecil untuk dilakukan. Kadang berhasil, kadang tidak, tapi setidaknya aku terus mencoba.
Kalau kau merasa dunia tak berpihak, cobalah lihat sekeliling; mungkin ada satu orang yang diam-diam menunggu engkau berbuat sesuatu. Mungkin itu bukan untuk membuatmu kaya, tapi cukup untuk membuatmu merasa dihargai. Dan dihargai itu batu pertama untuk membangun lagi sesuatu yang lebih besar.
Tinggalkan jejakmu hari ini:
tulis satu baris di kolom komentar, satu hal kecil yang ingin kau lakukan besok. Kita mulai bersama, langkah demi langkah. Jangan biarkan dirimu menjadi judul tragedi; jadikan dirimu bab keberanian yang belum selesai ditulis.
Untuk setiap orang yang pernah merasa "paling gagal", aku melihatmu. Kamu tidak sendirian.
Ujang Masri
9/24/2025
CB Blogger
IndonesiaKetika Dunia Mengecil - Sebuah Cerita tentang Jatuh, Menyala, dan Melangkah Lagi
Ujang Masri
24 September 2025
Itu bukan satu atau dua pemikiran, itu gelombang yang menyerbu satu per satu: merasa sendiri, merasa gagal, merasa kurang beruntung. Di lingkaran kepalaku, kalimat-kalimat kecil itu berkali-kali mengulang seperti piring retak yang diputar-putar. Dunia seakan tak berpihak; teman yang dulu bercanda sekarang menunduk; kesempatan yang kulihat dari jauh lenyap begitu saja. Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku terpuruk.
Tapi di titik paling rendah, sesuatu yang aneh terjadi: aku mulai mengamati. Bukan karena aku ingin bangkit, lebih karena aku bosan dengan kesedihan itu sendiri. Aku mulai menuliskan hal-hal kecil yang kurasakan. Beberapa aku sembunyikan, beberapa aku tulis dengan diam-diam di ponsel:
Aku merasa selalu merepotkan orang lain.
Aku merasa tidak dihargai karena miskin.
Aku merasa orang lain lebih beruntung, lebih pantas, lebih... semuanya.
Tulisan-tulisan itu seperti jejak kaki di pasir. Ketika ombak datang, jejak bisa hilang, tapi aku melihat bahwa jejak itu menunjukkan satu hal: aku masih bergerak. Aku masih bernafas.
Di pagi yang lain, aku memutuskan melakukan satu hal kecil: berjalan ke warung dekat rumah, bukan karena butuh, tapi untuk melihat siapa yang ada di sana. Aku berbicara pada penjual bakso tentang hujan semalam. Ibu penjual itu menatapku dan tersenyum seperti memberi izin: “Anak muda, jangan kau pikir hidupmu hanya soal berat di dada. Hidup memang berat, tapi lumayan kalau dicicil.” Satu kalimat sederhana. Bukan solusi instan. Tapi cukup untuk membuat sesuatu di dalam tertarik: mungkin ada cara lain untuk menata ulang harapan.
Lambat, bukan kilat.
Aku mulai menukar kalimat “aku gagal” dengan pertanyaan: “Gagal dalam apa? Dan apa satu langkah kecil yang bisa kulakukan besok?”
Dari yang semula parah, aku belajar memecah masalah: ekonomi terasa susah? Baik, aku coba jualan kecil-kecilan, belajar skill gratis lewat video, atau menawarkan jasa yang bisa kulakukan dari rumah. Dunia tidak berpihak? Mungkin, tapi aku tidak wajib menunggu pihak lain untuk berbaik hati. Aku bisa mencari celah.
Tentu tidak mudah. Banyak hari aku tergelincir lagi. Ada komentar pedas, ada hitungan di rekening yang tak tertutup, ada rasa malu ketika diundang reuni tapi tak mampu membeli kado. Namun, setiap kali aku kembali pada daftar kecil itu, menuliskan satu simpul kebaikan yang kutemukan hari itu, gunung itu terasa sedikit merenggang. Satu simpul: obrolan singkat yang membuatku belajar sesuatu. Dua simpul: satu pelanggan kecil. Tiga simpul: ada orang yang menghargai usahaku, meski itu hanya “terima kasih”.
Yang paling penting: aku mulai memisahkan “aku” dari “kegagalan”.
Aku bukan kegagalan yang berkumpul di badanku. Aku cuma manusia yang sedang mempelajari soal hidup. Hidup bukan lomba siapa paling berhasil, melainkan tentang siapa yang terus berdiri ketika terpeleset. Dan berdiri bisa berarti bangun 5 menit lebih awal, membaca satu artikel, mengirimkan satu pesan penawaran, atau membuat satu piring mie untuk diri sendiri tanpa menangis.
Ada momen kecil yang mengubah cara pandangku: ketika seorang tetangga, yang kubilang lebih beruntung dariku, meminjam beberapa buku dariku. Ia bilang, “Buku-bukumu membantu aku juga.” Aku terkejut. Ternyata hal yang kupikir tak ada nilainya, justru berguna bagi orang lain. Nilai itu tidak selalu dalam bentuk uang. Kadang ia dalam bentuk waktu, perhatian, atau kemampuan sederhana yang kita anggap remeh.
Hari demi hari, dunia yang semula terasa sempit berubah jadi beberapa jendela kecil. Jendela yang kubuka perlahan, satu untuk kemampuan baru, satu untuk relasi, satu untuk kebiasaan kecil. Ada hari yang mendung, ada yang cerah, tapi kini aku tahu: bahkan jendela kecil kalau dibuka tiap hari akan membuat rumah terasa lebih luas.
Jika kamu sedang membaca ini dan merasakan hal yang sama, merasa paling gagal, paling tidak beruntung, paling menyedihkan, izinkan aku berbagi dua hal sederhana yang menolongku:
Akhir cerita? Tidak ada akhir tetap. Ada proses. Ada bab baru yang tak pernah kusangka. Sekarang, ketika gelombang kesepian datang, aku tidak lagi panik. Aku duduk, menulis, dan memilih satu hal kecil untuk dilakukan. Kadang berhasil, kadang tidak, tapi setidaknya aku terus mencoba.
Kalau kau merasa dunia tak berpihak, cobalah lihat sekeliling; mungkin ada satu orang yang diam-diam menunggu engkau berbuat sesuatu. Mungkin itu bukan untuk membuatmu kaya, tapi cukup untuk membuatmu merasa dihargai. Dan dihargai itu batu pertama untuk membangun lagi sesuatu yang lebih besar.
Tinggalkan jejakmu hari ini:
tulis satu baris di kolom komentar, satu hal kecil yang ingin kau lakukan besok. Kita mulai bersama, langkah demi langkah. Jangan biarkan dirimu menjadi judul tragedi; jadikan dirimu bab keberanian yang belum selesai ditulis.
Untuk setiap orang yang pernah merasa "paling gagal", aku melihatmu. Kamu tidak sendirian.
0 komentar:
Post a Comment