Tahun ini, tepat dua puluh tahun aku menjadi guru honorer. Bukan angka yang singkat. Dua dekade waktu yang cukup panjang untuk mengubah dunia, tapi tidak cukup untuk mengubah hidupku.
Aku memulai langkah ini di tahun 2005. Saat itu, idealisme masih segar, semangat masih menyala. Aku percaya, menjadi guru adalah panggilan jiwa. Tapi siapa sangka, panggilan itu datang tanpa membawa bekal yang cukup untuk hidup.
Gajiku? Hanya lima ratus ribu rupiah. Bahkan ketika harga segala sesuatu naik, angka itu tak pernah ikut menanjak.
Aku tetap berdiri di depan kelas, mengajar dengan hati, meski perut kadang tak terisi.
Kadang aku bertanya pada diri sendiri, "Apakah sampai di sini saja rezekiku?"
Tapi aku terima. Bukan karena aku pasrah. Tapi karena aku lelah melawan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa kuubah sendiri.
Kini, tahun 2025, aku sedang berproses dalam seleksi PPPK paruh waktu. Sebagian hatiku berharap, sebagian lagi takut kecewa.
Tapi aku tetap jalani, walau pelan-pelan. Walau sendirian. Yang membuatku bertahan selama ini, bukan karena aku kuat.
Tapi karena aku punya istri yang jauh lebih kuat dari diriku sendiri. Wanita luar biasa yang tak pernah mengeluh, meski hidup bersamanya tak pernah mudah.
Wanita mana yang sanggup bertahan hidup selama 20 tahun dengan penghasilan suaminya yang cuma 500 ribu sebulan?
Dia tetap tinggal. Tetap setia. Tetap percaya padaku, bahkan saat aku sendiri mulai tak yakin pada diriku sendiri.
Sering aku menangis sendirian.
Di sudut ruangan kecil, atau saat semua orang sudah tertidur.
Bukan karena lemah, tapi karena merasa gagal.
Gagal sebagai suami.
Gagal sebagai anak.
Gagal sebagai laki-laki.
Aku malu pada orang tuaku.
Malu pada mertuaku.
Karena bukan rasa bangga yang bisa kuberikan, tapi justru kerepotan yang tak ada habisnya.
Kami tinggal di gubuk tua milik kakakku.
Rumah kecil yang lebih cocok disebut tempat berteduh sementara.
Setiap malam, aku tidur dengan waswas-takut kalau angin atau hujan terlalu kuat, dan atap itu tak lagi sanggup melindungi kami.
Aku melihat istriku kelelahan setiap hari, tapi tetap berusaha tersenyum. Dan itu yang paling menyakitkan-melihat orang yang kau cintai menderita karena kau belum mampu memberi hidup yang lebih baik.
Di sela malam yang dingin dan gelap, aku hanya bisa berdoa dalam hati:
“Ya Allah, mudahkanlah hamba mencari rezeki-Mu…
Agar aku bisa membahagiakan orang-orang yang menyayangiku…
Berilah hamba rezeki yang cukup, agar kami bisa tidur nyenyak…
Di rumah yang layak…”
Motivasi untuk Diri Sendiri:
Aku tahu, perjalanan ini belum selesai.
Mungkin hasilnya belum terlihat hari ini.
Tapi aku percaya, bahwa setiap tetes air mata, setiap doa yang kupanjatkan dalam diam, dan setiap perjuangan yang tak terlihat oleh mata manusia… tidak akan pernah sia-sia di hadapan Tuhan.
Aku telah jatuh berkali-kali. Tapi aku juga bangkit berkali-kali.
Selama aku masih punya harapan, dan selama istriku masih menggenggam tanganku…
Aku tidak akan berhenti.
Untuk diriku sendiri:
Jangan menyerah.
Mungkin hidup belum memihak, tapi bukan berarti ia tak akan berubah.
Pelan-pelan…Kita akan sampai juga.
0 komentar:
Post a Comment