Sejak kecil, saya punya ketertarikan sederhana: saya suka melihat pria berpenampilan rapi memakai jas.Di mata saya, jas bukan sekadar pakaian, melainkan simbol keberhasilan, kerapian, dan kehidupan mapan.
Dari situlah lahir sebuah cita-cita saya ingin menjadi seorang pegawai kantoran. Dengan tekad itu, saya melanjutkan sekolah ke SMA yang terletak di Kecamatan Cikalongkulon meskipun kondisi keluarga sederhana dan orang tua tidak punya cukup biaya. Saya percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju mimpi saya.
Tahun 2004, saya lulus SMA. Saat itu, ada tawaran untuk mengajar di sekolah tempat saya dulu menempuh pendidikan Sekolah Dasar, sekolah di kampung kelahiran saya yang sedang kekurangan guru. Namun saya menolak. Bagi saya, mengajar bukan jalan yang saya inginkan. Saya tetap berpegang pada cita-cita menjadi pegawai kantoran.
Saya pun merantau ke Jakarta. Namun, kehidupan di sana jauh dari bayangan indah yang saya pikirkan. Bukannya duduk di balik meja kantor dengan jas rapi, saya justru harus bekerja keras sebagai kuli bangunan, perajin boks speaker aktif, hingga salesman. Pekerjaan itu membuat saya sering sakit-sakitan, sampai akhirnya terpaksa pulang kampung untuk berobat.
Saat menjalani masa pemulihan, saya kembali ditawari untuk mengajar, kali ini dengan syarat: “Kalau nanti tidak betah, boleh berhenti.” Saya mencoba menerima. Bahkan saya sempat kuliah di Universitas Terbuka, tetapi berhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu berat, sementara gaji honorer sangat kecil.
Perjalanan hidup terus berlanjut. Saya menikah, punya keluarga, dan harus berjuang lebih keras. Saat anak kedua saya sakit dan butuh biaya pengobatan, saya memutuskan keluar dari sekolah tempat mengajar dan bekerja di outlet elpiji. Setelah pengobatan selesai, saya pulang kampung. Hati saya ingin tenang, melupakan pahitnya pengalaman bolak-balik rumah sakit di Bandung.
Namun, hidup di kampung pun tidak mudah. Saya menganggur, melamar pekerjaan ke berbagai tempat, tapi tak ada yang menerima. Bahkan saya sempat masuk hutan mencari laja untuk dijual, tapi penghasilan tetap tidak ada.
Akhirnya, saya kembali masuk ke dunia sekolah. Ada secercah harapan baru ketika mendengar kabar bahwa pemerintah akan melakukan pengangkatan guru di tahun 2024. Demi peluang itu, saya memberanikan diri melanjutkan kuliah lagi. Meski harus berutang ke sana-sini, saya jalani semuanya. Dengan tekad kuat, saya mengambil dua semester sekaligus hingga akhirnya berhasil menyelesaikan S1.
Sayangnya, ijazah S1 saya belum keluar ketika tes PPPK Guru dibuka. Saya terpaksa ikut tes dengan ijazah SMA. Formasi yang tersedia hanya tiga orang, saingannya banyak, dan mayoritas dari kategori 2. Hasilnya, saya tidak lulus.
Kenyataan itu sangat pahit. Orang lain merayakan kelulusan, sementara saya harus menerima kegagalan. Lebih menyakitkan lagi, warga sekampung menjadikan saya bahan olok-olokan. Kata-kata mereka menusuk, membuat saya merasa kecil, malu, dan tidak berharga.
Saya mulai menjauh dari teman-teman. Saya merasa tak pantas bergaul, lebih memilih menyendiri, dan semakin terpuruk. Hidup terasa gelap.
Namun, di tengah keterpurukan itu, ada suara kecil dalam hati saya yang berkata: “Kalau terus begini, kamu tidak akan pernah maju. Hidup harus tetap dilanjutkan, meski berat.” Pelan-pelan, saya mencoba bangkit.
Saya belajar menerima kenyataan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Olok-olokan orang bukan penentu masa depan saya. Saya mulai menata ulang langkah, menguatkan diri, dan percaya bahwa masih ada jalan yang bisa saya tempuh.
Memang, bangkit dari keterpurukan bukan perkara mudah. Luka di hati tidak hilang seketika. Tapi setiap kali saya teringat cemoohan itu, saya jadikan bahan bakar untuk terus berusaha.
Saya mungkin pernah jatuh, bahkan sangat dalam. Tapi saya percaya, setiap kejatuhan adalah kesempatan untuk belajar berdiri dengan lebih kuat.
Kali ini saya sama dengan teman-teman sedang berproses PPPK Paruh waktu. Semoga kita dilancarkan.
Bagi siapa pun yang membaca kisah ini, saya ingin berpesan: jangan pernah menyerah hanya karena gagal sekali, atau karena orang lain meremehkanmu. Kegagalan bukanlah akhir, dan olok-olokan bukanlah kebenaran. Yang terpenting adalah keberanian untuk bangkit, meski harus tertatih.
Cerita saya belum selesai. Jalan hidup ini masih panjang, dan saya akan terus melangkah. Karena pada akhirnya, keberhasilan sejati bukan sekadar tentang pekerjaan atau status, melainkan tentang keberanian untuk tetap berdiri ketika dunia berusaha menjatuhkanmu.
Dan kisah ini… masih bersambung.
0 komentar:
Post a Comment